Rabiul Awal

Membangun Masa Depan dengan Teladan Rasul: Merenungkan Makna Rabiul Awal

25/08/2025 | Humas

Hari Senin Per 25 Agustus ini sudah memasuki bulan Rabiul Awal,Memperingati sejarah penting di bulan Rabiul Awal bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan utama. Setiap tahun, ketika bulan Rabiul Awal tiba, hati umat Islam seolah diajak berziarah melalui lorong waktu, menyusuri jejak-jejak monumental yang membentuk peradaban Islam. Bulan ini bukan sekadar penanda waktu dalam kalender Hijriah, melainkan sebuah fase yang di dalamnya terangkum tiga peristiwa dahsyat yang menjadi pilarnya sejarah Islam: kelahiran Sang Nabi Pencerah, hijrah yang mengubah peta peradaban, dan kepergian Sang Kekasih Tuhan. Ketiganya adalah trilogi peristiwa yang mengajarkan kita bahwa mencintai Rasulullah SAW tidak berhenti pada euforia perayaan, tetapi harus berlanjut pada internalisasi nilai-nilai luhur beliau dalam kehidupan nyata.

 

Kelahiran: Cahaya yang Menerangi Zaman Kegelapan

 

Kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (571 M) adalah peristiwa kosmik yang disambut oleh alam semesta. Riwayat-riwayat sejarah menceritakan berbagai irhasat (tanda-tanda kenabian) yang menyertainya; padamnya api sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun, runtuhnya beberapa istana Kisra di Persia, dan surutnya danau Saawah. Tanda-tanda ini bukanlah dongeng, tetapi simbol dari sebuah pesan Ilahi: bahwa kelahiran anak yatim dari keluarga Bani Hasyim ini akan menjadi pangkal dari runtuhnya sistem kezaliman dan kebodohan (jahiliyah).

 

Namun, esensi memperingati maulid bukanlah pada keajaiban-keajaiban tersebut. Esensinya terletak pada memahami misi yang dibawa oleh bayi yang lahir dalam keadaan yatim itu. Beliau datang dengan membawa risalah tauhid, membebaskan manusia dari penyembahan berhala—baik yang berbentuk patung maupun yang abstrak seperti hawa nafsu, keserakahan, dan penindasan. Dalam konteks kekinian, merayakan maulid adalah dengan menyalakan kembali cahaya itu dalam diri kita. Cahaya kejujuran di tengah maraknya korupsi, cahaya kasih sayang di tengah individualisme yang mendinginkan hubungan sosial, dan cahaya ilmu di tengah banjirnya informasi yang menyesatkan.

 

Hijrah: Momentum Membangun Peradaban Alternatif

 

Jika kelahiran Nabi adalah awal mula misi, maka hijrah adalah strategi besar untuk mewujudkan misi itu dalam sebuah tatanan masyarakat yang nyata. Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq dari Makkah ke Madinah, yang juga terjadi pada Rabiul Awal, adalah sebuah masterclass dalam manajemen perubahan. Hijrah bukanlah pelarian, melainkan sebuah perjalanan terencana untuk membangun pusat peradaban baru (mad?nah al-munawwarah) yang berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan, persaudaraan (ukhuwah), dan toleransi.

 

Pelajaran terbesar dari hijrah adalah tentang pentingnya menciptakan sistem yang baik. Di Madinah, Rasulullah SAW segera merumuskan Piagam Madinah, sebuah konstitusi pertama di dunia yang mengakui pluralitas dan menjamin hak-hak setiap warga, Muslim maupun non-Muslim. Inilah yang sering luput dari peringatan hijrah kita. Hijrah sering hanya dimaknai secara personal—meninggalkan maksiat menuju taat. Itu benar, tetapi tidak cukup. Hijrah juga harus dimaknai secara sosial, yaitu membangun sistem yang memudahkan kebaikan dan mempersulit kemungkaran.

 

Bagi kita hari ini, spirit hijrah harus mendorong kita untuk aktif dalam membangun komunitas yang lebih baik. Mulai dari lingkungan terkecil, seperti keluarga dan tetangga, hingga yang lebih besar seperti bangsa dan negara. Hijrah mengajarkan bahwa perubahan mustahil dilakukan sendirian. Butuh sinergi, seperti persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Butuh kepemimpinan yang visioner dan bijaksana, seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.

 

Wafat: Warisan Abadi yang Harus Dijaga

 

Tanggal 12 Rabiul Awal juga menjadi saksi bisu peristiwa pilu: wafatnya Rasulullah SAW pada tahun 11 H. Peristiwa ini adalah ujian keimanan terberat bagi para sahabat. Bagaimana mungkin sang pembawa cahaya, sang pemimpin, sang kekasih hati telah tiada? Abu Bakar Ash-Shiddiq-lah yang dengan ketegaran imannya mengingatkan semua dengan firman Allah, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

 

Kepergian Rasulullah SAW justru menegaskan satu hal: bahwa misi Islam telah sempurna (QS. Al-Maidah: 3). Tugas umatnya bukan lagi menunggu wahyu, tetapi mengamalkan dan menyebarkan wahyu yang telah diturunkan. Kematian beliau adalah pengingat bahwa kepemimpinan dan estafet perjuangan ada di pundak umatnya. Segera setelah wafatnya beliau, para sahabat bermusyawarah dan menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah, menjamin keberlanjutan dakwah.

 

Ini pelajaran tentang pentingnya menjaga warisan (ats-tsaq?fah al-isl?miyyah). Warisan Nabi bukan hanya harta, tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di era diuring arus globalisasi dan budaya yang begitu kuat, memperingati wafatnya Nabi adalah dengan komitmen untuk mempelajari, memahami, dan melestarikan ajaran beliau dengan benar, menjaganya dari penyimpangan dan distorsi.

 

Rabiul Awal di Era Kini: Dari Ritual Menuju Aksi

 

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyambut Rabiul Awal di zaman now? Peringatan ini harus kita evolusi dari sekadar ritual seremonial menjadi gerakan aksi nyata.

 

Pertama, Gerakan Literasi Nabi. Banyak dari kita mencintai Nabi, tetapi tidak mengenal beliau dengan baik. Mari isi Rabiul Awal dengan membaca sirah nabawiyah, mengkaji kepemimpinannya, keteladanannya dalam berumah tangga, dan strategi dakwahnya.

 

Kedua, Menebar Kasih Sayang (rahmah). Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Peringatan maulid harus terwujud dalam aksi-aksi kedermawanan, menolong yang lemah, menyantuni anak yatim, dan membantu sesama tanpa memandang suku dan agama.

 

Ketiga, Memperkuat Ukhuwah. Seperti yang dilakukan Nabi di Madinah, bulan ini harus menjadi momentum untuk merajut kembali persaudaraan yang mungkin retak, menghilangkan prasangka, dan bersatu padu untuk kebaikan bersama.

 

Dengan demikian, Rabiul Awal menjadi bulan yang hidup dan bermakna. Ia menjadi milestone untuk melakukan muhasabah diri: sejauh mana kita telah meneladani Akhlakul Karimah beliau? Sejarah penting di bulan Rabiul Awal adalah sebuah narasi agung yang menuntut kita bukan hanya untuk menjadi penonton yang terkagum-kagum, tetapi menjadi aktor yang melanjutkan cerita tersebut dengan chapter baru yang gemilang. Marilah kita jadikan teladan Rasulullah sebagai blueprint untuk membangun peradaban kita hari ini dan masa depan.

sumber: baznas.go.id

KABUPATEN SIDOARJO

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12